“Jika seorang wanita mengerjakan shalat lima
waktunya, berpuasa di bulan Ramadhannya, menjaga kemaluannya, dan menaati
suaminya, maka dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke surga dari pintu mana saja
yang engkau suka" HR. Ahmad, no. 1664. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih
al-Jami’, no. 660
Setiap
pasangan suami isteri pasti mendambakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah. Rumah tangga akan harmonis dan bahagia jika masing-masing dari
keduanya merasakan ketentraman, cinta, dan kasih sayang. Namun semuanya itu
tidak akan pernah terwujud kecuali jika setiap pasangan mengerti dan memahami
tugas masing-masing. Sebagaimana keduanya memiliki hak, keduanya juga mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab.
Kewajiban
utama seorang suami adalah menjadi kepala rumah tangga, pemimpin dalam
komunitas keluarga, yang bertanggung jawab mengayomi, melindungi, dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga. Sedangkan kewajiban utama seorang istri
adalah menaati dan melayani suami.
Dalam
konteks kewajiban taat seorang istri kepada suaminya, Rasulullah
shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Sekiranya
aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya
akan kuperintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” HR. Ahmad, no. 18913; at-Tirmidzi,
no. 1159; dll. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits
ash-Shahihah, no. 3366.
Melalui
hadits mulia ini, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam – ingin menyampaikan
pesan kepada para istri, bahwa suami memiliki kedudukan yang sangat tinggi.
Suami layaknya nahkoda yang mengatur jalannya rumah tangga kala mengarungi
lautan kehidupan. Maka semestinya ia ditaati, bukan didurhakai, seharusnya ia
diikuti, bukan dikhianati. Dan seorang istri shalihah yang beriman kepada Allah
dan RasulNya, tidak akan memandang kewajiban taat ini sebagai bentuk
diskriminasi terhadap wanita, kekerasan dalam rumah tangga, atau pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang kafir dan
para pengekor mereka. Akan tetapi, ia akan memandang bahwa kewajiban taat ini
merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang telah menciptakanNya, menciptakan
suaminya, dan menciptakan adanya hubungan suci nan mulia di antara keduanya. Ia
akan mengatakan, “Kami dengar, dan kami taat”, kemudian ia akan menunaikannya
dengan penuh ketulusan dari lubuk hati dan keikhlasan karena mengharap ridha
Ilahi.
Namun yang
perlu dipahami di sini adalah, sejauh manakah kewajiban taat seorang istri
kepada suaminya? Apakah ia merupakan ketaatan mutlak tanpa batas? Ketaatan yang
menjadikan istri layaknya budak kepada tuannya? Ataukah ada suatu kondisi di
mana ketaatan itu boleh dilanggar, atau bahkan wajib didurhakai?
Dalam hal
ini, Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah menggariskan satu
kaidah agung yang harus dipahami dengan penuh keimanan oleh masing-masing
pasangan. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla.”
HR. Ahmad, no. 1098, dan
lainnya. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 7520.
Beliau
Shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf.”HR. al-Bukhari, no. 7145
dan Muslim, no. 1840.
Ya,
ketaatan istri kepada suami bukan hanya karena suami telah menafkahinya,
melindunginya, dan memenuhi segala kebutuannya. Akan tetapi lebih dari itu,
ketaatan istri kepada suami adalah merupakan bentuk ketaatan kepada Allah
ta’ala. Karena Allah telah memerintahkan istri untuk taat kepada suami. Oleh karena
itu, ketaatan seorang istri kepada suaminya harus disesuaikan dengan ketaatan
kepada Allah ta’ala. Sebab, jika kewajiban taat dan patuh kepada suami
sangatlah besar, maka kewajiban taat dan patuh kepada Allah, tentu lebih besar
lagi, karena Allah-lah yang telah menciptakan ia dan suaminya, dan mengikatkan
tali cinta suci di antara keduanya.
Artinya,
kepatuhan istri kepada suami dibatasi pada hal-hal yang tidak mengandung
kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Jika sang suami memerintahkannya melakukan
suatu kemaksiatan –sekecil apa pun kemaksiatan itu-, maka sebesar apa pun
kecintaannya kepada sang suami, ia tidak boleh mematuhinya.
Di antara
contoh perintah suami yang tidak boleh ditaati oleh istri:
1. Suami
menyuruh istri berbuat syirik atau kufur
Jika suami
memerintahkan istrinya untuk melakukan atau membantu suatu perbuatan syirik;
menyuruhnya pergi ke dukun, mencari penglaris untuk dagangan, mengalungkan
jimat pada anaknya, atau apa pun bentuk kesyirikan itu, maka istri tidak boleh
patuh dan wajib membantah perintah suaminya, meski sang suami tidak senang,
tidak ridha, murka, atau bahkan hendak menceraikannya. Bahkan dalam suatu
kondisi, apabila sang suami tidak bisa dinasihati, tidak mau bertaubat dari
kesyirikannya, sang istri boleh menggugat cerai dari suaminya yang musyrik.
Karena keberadaannya di sisi suami, akan mengancam akidahnya. Suaminya yang
musyrik itu akan dapat menjerumuskannya ke dalam kemurkaan Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
“Barangsiapa
mencari keridhaan Allah dengan kemurkaan manusia, niscaya Allah akan
mencukupinya dari tuntutan manusia, dan barangsiapa mencari keridhaan manusia
dengan murka Allah, niscaya Allah akan menyerahkannya kepada manusia.”HR.
at-Tirmidzi, no. 2414. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’,
no. 60972.
2. Suami melarang berhijab
Mengenakan jilbab (busana
syar’i wanita Muslimah) hukumnya wajib. Jika suami memerintahkan istri untuk
melepas kerudungnya atau membuka aurat lainnya, dengan alasan untuk pekerjaan
atau apa pun alasannya, maka istri tidak boleh mematuhinya. Jika istri mematuhinya,
berarti ia telah durhaka kepada Allah ta’ala. Allah berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu,
anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, ‘Hendaklah mereka
menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).
3. Suami
minta dilayani di ranjang, sedangkan istri dalam keadaan haidh, atau suami
minta jimak melaui dubur
Istri
tidak diperkenankan menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim (tanpa
alasan syar’i) "Jika seorang suami mengajak
istrinya ke tempat tidurnya, lalu istrinya menolaknya sehingga dia melalui
malam itu dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat istrinya itu hingga
shubuh" HR. Bukhari no.3237 dan Muslim no. 1436
Namun demi
suatu hikmah dan kemaslahatan, Islam telah mengatur rambu-rambu bagi suami
istri dalam berhubungan intim, dan jika rambu-rambu itu dilanggar, maka mereka
akan terjatuh ke dalam dosa. Di antara rambu-rambu itu adalah tidak boleh
berhubungan intim ketika istri sedang haidh, oleh karena itu istri harus
menolak ajakan suami untuk berhubungan intim jika ia sedang haidh. Namun dalam
kondisi seperti ini keduanya boleh melakukan apa saja selain jimak. Demikian
juga apabila suami mengajak istri untuk berhubungan intim melalui dubur, maka
ia juga harus menolaknya. Jika tidak, maka keduanya justru akan mendapatkan
murka dari Allah ta’ala.
"Dan mereka
bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran (najis).”
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang menyucikan diri.” (Qs. Al-Baqarah: 222-223)
Dan
demikianlah seterusnya,
" segala bentuk
perintah suami yang mengandung kemaksiatan serta kedurhakaan kepada Allah, maka
istri tidak boleh mematuhinya. Namun yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh
istri adalah, bahwa ketika suami memerintahkannya melakukan satu kemaksiatan,
bukan berarti itu menggugurkan ketaatan istri secara keseluruhan, akan tetapi
kewajiban tidak taatnya itu hanya berkenaan dengan perintah yang mengandung
kemaksiatan tersebut. Istri juga tidak diperkenankan untuk serta merta marah,
benci, dan menghardik suami yang melakukan atau memerintahkan kemaksiatan. Akan
tetapi harus tetap ada usaha untuk menasihati dan memberikan pengertian kepada
suami. Dan istri yang shalihah adalah istri yang bisa bijak tatkala menghadapi
kesalahan suaminya, bisa memberinya nasihat tanpa terkesan menggurui, bisa
mengingatkannya tanpa membuatnya tersinggung".
Semoga
Allah ta’ala memberikan taufikNya kepada kita semua, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar